Raja Kiri Rasi (1752-1774)
Kiri Rasi atau biasa disapa dengan sebutan Baki Ktuta adalah raja Amarasi yang berkuasa pasca menyerahnya Kerajaan Amarasi terhadap Belanda menggantikan ayahnya Raja Esu Rasi yang dipenggal kepalanya bersama-sama dengan panglima perang Fai Foni oleh Belanda dan dikuburkan di Bakunase tahun 1752
Kiri Rasi atau biasa disapa dengan Baki Ktuta sebagaimana disebutkan di atas merupakan anak satu-satunya raja Esu Rasi. Kiri Rasi memiliki nama Topases yaitu Kiri Lote yang merupakan raja Amarasi yang ke-9. Kiri Rasi (Kiri Lote) menurut catatan sejarawan Prancis Salomon Müller tahun 1803 bahwa Kiri Rasi berdarah campuran (Topases) dari ibunya. Sementara cerita dari kalangan Sonaf/istana sebagaimana dituturkan oleh Jefry Koroh bahwa Kiri Rasi turunan Belanda.
Dari Kiri Rasi ini kemudian lahir 3 orang anak dan salah satunya adalah Kefi Koroh Rasi yaitu Raja Amarasi yang memerintah tahun 1832, istananya berlokasi di pasar Baun saat ini. Kefi Koroh Rasi (Tobe Noni) ini anaknya hanya satu perempuan yaitu Bi Nusi Rasi sedangkan suami Bi Nusi Rasi hampir tidak pernah disebutkan dalam catatan sejarah Amarasi, tetapi dalam tutur lisan disebutkan bahwa ia seorang panglima kerajaan Amarasi bermarga Otemusu
Dari Bi Nusi Rasi inilah maka kemudian Lahir Tobe Mnatu, Nisim Mnatu dan Rubu Rasi yang tinggal di Sonaf Rua Noah hingga akhir hayatnya
Dari Kiri Rasi ini, kemudian ada pemberian tanda mata dari seorang bangsawan Yahudi sekaligus sebagai pedagang cendana dan lilin kepada Raja Amarasi Tobe Mnatu cucu Kiri Rasi tahun 1892. Pemberian tanda mata itu kemudian dipajang di dinding Istana Amarasi (Sonaf Fafon) sebagaimana tampak dalam gambar dinding istana. Pemberian ini tidak biasa kepada para raja Timor umumnya tetapi ini adalah pemberian khusus sebagai tanda kekerabatan karena ada pertalian darah (Mungkinkah Kiri Rasi berdarah Yahudi dari ibunya?) butuh pembuktian.
Dari Kiri Rasi ini pula kemudian melahirkan raja-raja Amarasi selanjutnya sampai kepada raja Amarasi yang terakhir Viktor Hendrik Rasyiam Koroh
Pemerintahan raja Kiri Rasi merupakan babak baru di mana kerajaan Amarasi dibawah jajahan Belanda yang dimulai tahun 1752
Takluknya kerajaan Amarasi, maka banyak panglima perang dan yang memberontak ditangkap sebagian dipenjarakan di Kupang tetapi ada yang dibuang ke Rote dan pulau Jawa. Sedangkan para pembangkang dari rakyat sebagian ditangkap dan menjadi santapan buaya di Lifau (Oekusi)
Rakyat Amarasi dipekerjakan sebagai pekerja rodi dengan membakar bata merah di kawasan kota Kupang dengan istilah "Corvee", yaitu suatu pekerjaan yang menyiksa dan tidak sedikit yang meninggal dunia. Mamar dan kebun-kebun di Amarasi dibakar oleh Belanda, termasuk rumah penduduk. Bumi hangus di Amarasi dilakukan setelah Raja Esu Rasi dipenggal kepalanya sekaligus menandai takluknya Kerajaan Amarasi terhadap Belanda.
Ibu-ibu dan anak-anak diikutkan dalam kerja paksa beberapa waktu di Kupang pada siang hari sedangkan pada malam hari mereka ditampung di Pasir Panjang dan Kelapa Lima bersama kaum pria yang dipenjara di sana di tempat terbuka (seperti kandang hewan)
Pada waktu ibu-ibu dan anak-anak yg telah dibebaskan kembali ke Amarasi, konon mereka diperiksa secara ketat di pos terakhir Belanda yang terletak di Sikumana sehingga kemudian lokasi tersebut disebut Sikumana karena para nenek tua disingkap kain mereka untuk diperiksa apakah membawa sesuatu ataukah tidak.
Dari Sikumana kemudian mereka beristirahat di Kae Me'u karena dari lokasi inilah bisa melihat wilayah Amarasi
Dari Kae Me'u inilah kemudian anak-anak laki-laki yang berumur 12 tahun s/d 15 tahun diizinkan pulang ke kampung masing-masing di Amarasi untuk memeriksa kampung mereka dan membangun pondok karena mamar dan rumah telah dibakar, sedangkan nenek-nenek dan anak-anak perempuan tinggal di Kaeme'u menunggu anak-anak atau cucu mereka laki-laki yang akan kembali menjemput mereka sekembalinya dari membuat pondok di kampung masing-masing di Amarasi.
Sekembalinya anak-anak dari membuat pondok, banyak saudara perempuan mereka yang telah menikah dengan penduduk disekitar Kaeme'u.
Sehingga perpisahan pada waktu bulan purnama ketika saudara mereka, ibu dan nenek-nenek mereka kembali ke Amarasi, mereka menangis bersama-sama pada malam bulan purnama sebagai tanda perpisahan karena saudara perempuan mereka yg telah menikah tidak bisa ikut kembali ke Amarasi. Itulah sebabnya tempat itu diberi nama Kae Me'u yaitu menangis di saat bulan terang/purnama.
Kiranya bermanfaat
Karya ini dilindungi Undang-undang Hak Cipta pasal 72 No. 19 ayat 1 dan 2 tahun 2002.
Boleh dicopy untuk digunakan sebagai bahan pengajaran, dengan mencantumkan nama penulis
Bandung, 22 Januari 2020
Penulis
Pdt. Aner Abraham Nitti Runesi
Ket. Gambar:
Perkabungan mendiang Tobe Mnatu di Sonaf Fafon Baun tahun 1914
Komentar
Posting Komentar